HUKUM KHITAN UNTUK PEREMPUAN

- Desember 19, 2017

HUKUM KHITAN UNTUK PEREMPUAN

 

Di senja sore di ruangan depan kantor PSTI Fakultas Ilmu Komputer UBL saya mencari cari bahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk saya share ke sahabat sahabat bagi atau bisa juga dikatakan untuk mampu bermanffar bagi atau bisa juga dikatakan untuk umat islam., serta saya menjumpai tulisan atau artikel ini dari situs resmi nu.or.id serta saya mohon izinya ya, bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyebar luaskan demi membantu dakwah di dunia maya..,
HUKUM KHITAN UNTUK PEREMPUAN : Dalam riwayat Bukhari, Muslim serta Ahmad dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Ada lima jenis yng salah satunya fitrah, yakni khitan, mencukur rambut yng tumbuh di sekeliling kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku serta mencabut bulu ketiak.”
Hadits yang telah di sebutkan menunjukan bahwasanya Islam merupakan ajaran yng komprehensif yng mengatur seluruh aspek ke hidup-an kita-kita, salah satunya hal-hal yng sepele yng menjadi naluri kebiasaan kita-kita.Dalam konteks khitan, ulama mufakat bahwasanya laki-laki dianjurkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk berkhitan, lantaran secara logika mampu dipahami, khitan adalah bagian dari kebersihan (thaharah). Akan tetapi tak demikian bagi perempuan, tidak sedikit kalangan lebih-lebih tenaga medis yng melarang khitan bagi perempuan. Sementara itu sebagian kalangan berpendapat bahwasanya khitan bagi perempuan Perlu di lakukan. Oleh karenanya, masalah khitan bagi perempuan butuh memperoleh kejelasan secara tuntas serta menyeluruh.Ulama berbeda pendapat wacana hukum khitan bagi perempuan, ada yng mengujarkan sunnah, serta ada yng mengujarkan mubah. Sedangkan pendapat dari al-Syafi’i hukumnya wajib, semisal hukum khitan bagi laki-laki sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi.Pendapat yng melarang khitan perempuan sebetulnya tak mempunyai dalil syar’i, kecuali cuma sekedar melihat bahwasanya khitan perempuan merupakan menyakitkankorban (perempuan). Sementara hadits yng menjelaskan khitan perempuan (hadits Abu Dawud) tak menunjukan taklifdisamping pula keshahihannya diragukan. Padahal ada kaidah ushul yng menyatakan bahwasanya‘adam al-dalil lais bi dalil (tak adanya dalil bukan merupakansuatu dalil).Adapun pendapat yng mengujarkan sunnah, didasari hadits yng diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ)Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari Ayahnya: “Sungguh Nabi Saw. bersabda: “Khitan itu hukumnya sunnah bagi para pria serta kemuliaan bagi para perempuan.”(HR. Ahmad) Kata sunnah yng dikehendaki disini bukan berguna lawan kata wajib. Karena kata sunnah andaikan dipakai dalam sebuah hadits, maka tak dimaksud menjadi lawan kata wajib. Akan tetapi lebih menunjukan duduk perkara membedakan antara hukum laki-laki serta perempuan. Yang dengannya begitu, arti kata sunnah serta kata makrumah dalam hadits yang telah di sebutkan maksudnya merupakan laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Menjadikan mampu jadi pengertiannya merupakan laki-laki sunnah berkhitan serta perempuan mubah. Ataupun wajib bagi laki-laki serta sunnah bagi perempuan. Ataupun laki-laki dianjurkan mengumumkan khitannya, baik dalam walimah al-khitan ataupun undangan, sedangkan perempuan malahan yng baik dirahasiakan, tak butuh diekspose ataupun disebarluaskan. Sebagaimana disampaiakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ )رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ)
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ خِتَانُهَا قَطْعُ جِلْدَةٍ تَكُونُ فِي أَعْلَى فَرْجِهَا فَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ كَالنَّوَاةِ أَوْ كَعُرُفِ الدِّيكِ وَالْوَاجِبُ قَطْعُ الْجِلْدَةِ الْمُسْتَعْلِيَّةِ مِنْهُ دُونَ اسْتِئْصَالِهِ وَقَدْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَبِيُّ r (لَا تَنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ) وَقَالَ أَنَّهُ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ قُلْتُ وَلَهُ شَاهِدَانِ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ وَ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ أَيْمَنَ ثُمَّ أَبِي الشَّيْخِ فِي كِتَابِ الْعَقِيقَةِ وَآخَرَ عَنِ الضَّحَاكِ بْنِ قَيْسٍ عِنْدَ الْبَيْهَقِيِّ قَالَ النَّوَوِيُّ وَيُسَمَّى خِتَانُ الرَّجُلِ إِعْذَارًا بِذَالٍ مُعْجَمَةٍ وَخِتَانُ الْمَرْأَةِ خَفْضًا بِخَاءٍ وَضَادٍ مُعْجَمَتَيْنِ وَقَالَ أَبُو شَامَةَ كَلَامُ أَهْلِ اللُّغَةِ يَقْتَضِي تَسْمِيَّةَ الْكُلَّ إِعْذَارًا وَالْخَفْضُ يَخْتَصُّ بِالْأُنْثَى قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَذَرَتِ الْجَارِيَةُ وَالْغُلَامُ وَأَعْذَرْتُهُمَا خَتَنْتُهُمَا وَأَخْتَنْتُهُمَا وَزْنًا وَمَعْنًى قَالَ الْجَوْهَرِيُّ وَالْأَكْثَرُ خَفَضَتِ الْجَارِيَةُ قَالَ وَتَزْعُمُ الْعَرَبُ أَنَّ الْغُلَامَ إِذَا وُلِدَ فِي الْقَمَرِ فَسَخَتْ قُلْفَتُهُ أَيِ اتَّسَعَتْ فَصَارَ كَالْمَخْتُونِ وَقَدِ اسْتَحَبَّ الْعُلَمَاءُ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ فِيمَنْ وُلِدَ مَخْتُونًا أَنْ يَمُرَّ بِالْمُوسَى عَلَى مَوْضِعِ الْخِتَانِ مِنْ غَيْرِ قَطْعٍ قَالَ أَبُو شَامَةَ وَغَالِبُ مَنْ يُولَدُ كَذلِكَ لَا يَكُونُ خِتَانُهُ تَامًّا بَلْ يَظْهَرُ طَرَفُ الْحَشَفَةِ فَإِنْ كَانَ كَذلِكَ وَجَبَ تَكْمِيلُهُ وَأَفَادَ الشَّيْخُ أَبُو عَبْدِ اللهِ بْنُ الْحَاجِّ فِي الْمَدْخَلِ أَنَّهُ اخْتُلِفَ فِي النِّسَاءِ هَلْ يُخْفَضْنَ عُمُومًا أَوْ يُفْرَقُ بَيْنَ نِسَاءِ الْمَشْرِقِ فَيُخْفَضْنَ وَنِسَاءُ الْمَغْرِبِ فَلَا يُخْفَضْنَ لِعَدَمِ الْفَضْلَةِ الْمَشْرُوعِ قَطْعُهَا مِنْهُنَّ بِخِلَافِ نِسَاءِ الْمَشْرِقِ قَالَ فَمَنْ قَالَ أَنَّ مَنْ وُلِدَ مَخْتُونًا اسْتُحِبَّ إِمْرَارَ الْمُوسَى عَلَى الْمَوْضِعِ امْتِثَالًا لِلْأَمْرِ قَالَ فِي حَقِّ الْمَرْأَةِ كَذلِكَ وَمَنْ لَا فَلَا وَقَدْ ذَهَبَ إِلَى وُجُوبِ الْخِتَانِ دُونَ بَاقِي الْخِصَالِ الْخَمْسِ الْمَذْكُورَةِ فِي الْبَابِ الشَّافِعِيُّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ وَقَالَ بِهِ مِنَ الْقُدَمَاءِ عَطَاءُ حَتَّى قَالَ لَوْ أَسْلَمَ الْكَبِيرُ لَمْ يَتِمَّ إِسْلَامُهُ حَتَّى يَخْتِنَ وَعَنْ أَحْمَدَ وَبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ يَجِبُ وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَاجِبٌ وَلَيْسَ بِفَرْضٍ وَعَنْهُ سُنَّةٌ يَأْثَمُ بِتَرْكِهِ وَفِي وَجْهٍ لِلشَّافِعِيَّةِ لَا يَجِبُ فِي حَقِّ النِّسَاءِ وَهُوَ الَّذِي أَوْرَدَهُ صَاحِبُ الْمُغْنِي“Fithrah itu ada lima, ataupun lima jenis yng salah satunya fitrah, yakni khitan, mencukur rambut yng tumbuh di sekeliling kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, serta mencukur kumis.” (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah) Al-Mawardi mengatakan: “Mengkhitan perempuan yakni memotong kulit yng ada di bagian atas vagina, yakni tempat masuknya alat kelamin lelaki yng berbentuk semisal biji ataupun semisal jengger ayam jantan. Bagian yng wajib dipotong merupakan kulit yng timbul ke atas, bukan memotongnya habis. Abu Dawud sudah meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyah: “Sungguh seorang perempuan akan berkhitan di Madinah, lantas Nabi Saw. bersabda padanya: “Jangan engkau potong habis, karena hal itu lebih baik bagi seorang perempuan.” Lantas Abu Dawud mengatakan: “Hadits itu bukan hadits kuat.” Saya (Ibn Hajar al-‘Asqalani) berpendapat, hadits itu punya dua syahid (penguat) dari hadits Anas serta hadits Ummu Aiman. Lantas dari hadits Abu al-Syaikh dalam Kitab al-‘Aqiqah, hadits lain dari al-Dhahak bin Qais dalam riwayat al-Baihaqi. Al-Nawawi mengatakan: “Khitan laki-laki disebut yang dengannya sebutan i’dzar yang dengannya dzal yng dititik satu, sementara khitan perempuan disebut khafzh yang dengannyakha’serta zha’ yng dititik satu. Sedangkan Abu Syamah menyatakan bahwasanya pendapat ahli bahasa memutuskan keduanya disebut i’dzar, serta khafzh dikhususkan bagi perempuan. Abu ‘Ubaidah mengatakan: “Perempuan serta laki-laki beri’dzar (berkhitan). Saya mengi’dzar orang-orang berdua, maksudnya khatantuhuma (saya mengkhitan keduanya) serta akhtantuhuma (saya mengkhitan keduanya), dalam wazan serta maknanya. Al-Jauhari mengatakan: “Mayoritas diucapkan khafzhat al-jariyah (seorang perempuan berkhitan.)” Ia mengatakan: “Orang Arab menduga bahwasanya seorang anak laki-laki disaat lahir pada tatkala muncul bintang qamar, qulfah (kulit ujung penis)nya melebar, menjadikan semisal telah dikhitan.” Ulama Syafi’iyah menghukumi orang yng lahir dalam keadaan telah terkhitan sunnah menjalankan pisau di bagian khitan tanpa memotongnya. Abu Syamah mengatakan: “Mayoritas anak yng lahir dalam keadaan begitu, khitannya tak sempurna, cuma ujung penis yng terlihat. Bila begitu, maka ia wajib menyempurnakan khitannya. Dalam kitab al-MadkhalSyaikh Abu Abdillah bin al-Hajj memberikan, hukum khitan perempuan masih diperselisihkan. Apakah orang-orang seluruh dikhitan ataupun dibedakan antara perempuan timur dikhitan serta perempuan barat tak, karena tak adanya sisa bagian yng disyariatkan dipotong di vagina orang-orang, berbeda yang dengannya wanita timur. Ia mengatakan: “Ulama yng punya pendapat seorang anak laki-laki yng lahir dalam keadaan terkhitan sunnah menjalankan pisau di tempat khitannya lantaran mematuhi perintah syari’ah, berpendapat begitu juga bagi seorang anak perempuan. Serta ulama yng tak berpendapat begitu, maka tak menghukumi sunnah menjalankan pisau di tempat khitan seorang perempuan.” Al-Syafi’i serta mayoritas Ashhabnya berpendapat atas kewajiban khitan, bukan keempat fithrah lain-lainnya yng disebutkan dalam hadits bab ini. Dari Ahmad serta sebagian ulama Malikiyah diriwayatkan menghukumi wajib. Dari Abu Hanifah menghukumi wajib akan tetapi bukanfardhu. Diriwayatkan juga darinya, hukum khitan itu sunnah yng berdosa bila ditinggalkan. Pada satu pendapat ashhab Syafi’iyah dinyatakan bahwasanya khitan tak wajib bagi perempuan. Pendapat ini disampaikan -pula- oleh penulis kitab al-Mughni. Begtiu juga keterangan dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلإِبِطِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ)
قَوْلُهُ (الْفِطْرَةُ خَمْسٌ) ثُمَّ فَسَّرَ r الْخَمْسَ فَقَالَ الخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ (عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكِ وَاسْتِنْشَاقِ الْمَاءِ وَقَصِّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلِ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفِ الْإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصِ الْمَاءِ قَالَ مَصْعَبٌ وَنُسِيَتِ الْعَاشِرَةُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةُ) أَمَّا قَوْلُهُ r (الْفِطْرَةُ خَمْسٌ) فَمَعْنَاهُ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ كَمَا فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى (عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ) وَلَيْسَتْ مُنْحَصِرَةً فِي الْعَشْرِ وَقَدْ أَشَارَ r إِلَى عَدَمِ انْحِصَارِهَا فِيهَا بِقَوْلِهِ مِنَ الْفِطْرَةِ وَاللهُ أَعْلَمُ وَأَمَّا الْفِطْرَةُ فَقَدِ اخْتَلَفَ فِي الْمُرَادِ بِهَا هُنَا فَقَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ ذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهَا السُّنَّةُ وَكَذَا ذَكَرَهُ جَمَاعَةٌ غَيْرُ الْخَطَّابِيِّ قَالُوا وَمَعْنَاهُ أَنَّهَا مِنْ سُنَنِ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ وَقِيْلَ هِيَ الدِّينُ ثُمَّ إِنَّ مُعْظَمَ هذِهِ الْخِصَالِ لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ وَفِي بَعْضِهَا خِلَافٌ فِي وُجُوبِهِ كَالْخِتَانِ وَالْمَضْمَضَةِ وَالاسْتِنْشَاقِ وَلَا يَمْتَنِعُ قَرْنُ الْوَاجِبِ بِغَيْرِهِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَالْإِيتَاءُ وَاجِبٌ وَالْأَكْلُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَاللهُ أَعْلَمُ أَمَّا تَفْصِيلُهَا (فَالْخِتَانُ) وَاجِبٌ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَكَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَسُنَّةٌ عِنْدَ مَالِكٍ وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ جَمِيعًا ثُمَّ إِنَّ الْوَاجِبَ فِي الرَّجُلِ أَنْ يَقْطَعَ جَمِيعَ الْجِلْدَةِ الَّتِي تُغْطِي الْحَشَفَةَ حَتَّى يَنْكَشِفَ جَمِيعَ الْحَشَفَةِ وَفِي الْمَرْأَةِ يَجِبُ قَطْعُ أَدْنَى جُزْءٍ مِنَ الْجِلْدَةِ الَّتِي فِي أَعْلَى الْفَرْجِ وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِنَا الَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْخِتَانَ جَائِزٌ فِي حَالِ الصِّغَرِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَلَنَا وَجْهٌ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْوَلِيِّ أَنْ يَخْتِنَ الصَّغِيرَ قَبْلَ بُلُوغِهِ وَوَجْهٌ أَنَّهُ يَحْرُمُ خِتَانُهُ قَبْلَ عَشْرِ سِنِينَ وَإِذَا قُلْنَا بِالصَّحِيحِ اسْتُحِبَّ أَنْ يُخْتَنَ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ مِنْ وِلَادَتِهِ وَهَلْ يُحْسَبُ يَوْمَ الْوِلَادَةِ مِنَ السَّبْعِ أَمْ تَكُونُ سَبْعْةٌ سِوَاهُ فِيهِ وَجْهَانِ أَظْهَرُهُمُا يُحْسَبُFitrahituadalimajenis, yakni khitan,mencukur rambut yng tumbuhdi sekeliling kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, serta mencabut bulu ketiak.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra.) Sabda Nabi Saw.: “Fitrah itu ada lima jenis.” lantas beliau menjelaskannya, beliau mengatakan:Yakni khitan, mencukur rambut yng tumbuh di sekeliling kemaluan, memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, serta mencukur kumis.” Serta dalam hadits lain: “Sepuluh perkarasalah satunya fithrah, yakni memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirupair ke hidung,memotong kuku, membasuh sendi-sendi, mencabutrambut ketiak, mencukut rambut sekitar kemaluan, serta memercikkan air pada kemaluan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menghilang-kan was-was.” Mash’ab mengatakan: “Yang kesepuluh telah terlupakan kecuali bila maksudnya adalah berkumur.” Sedangkan sabda Nabi Saw.: “Fitrah itu ada lima jenis.” maknanya merupakan lima perkara yng salah satunya fitrah, semisal dalam riwayat lain, yakni: Sepuluhperkarayngsalah satunyafitrah.” Sebetulnya jenis fitrah itu tak cuma sepuluh, serta Nabi Saw. sudah menyinggungnya yang dengannya sabda beliau: “Sepeluh perkara yang termasuk fithrah.” Wallahu a’lam. Sementara makna fitrah sendiri diperselisihkan. Abu Sulaiman al-Khaththabi mengatakan: “Mayoritas ulama berpendapat, makna fitrah merupakan sunnah. Demikian disampaikan oleh sekelompok ulama selain al-Khaththabi. Orang-orang mengatakan: “Maksudnya, fitrah itu salah satunya sunnah para nabi -shalawatullah ‘alaihim wa al-salam-. Pendapat dari satu pendapat fitrah diartikan menjadi ajaran agama. Lantas mayoritas fitrah di atas pendapat dari ulama hukumnya tak wajib. Sebagiannya diperselisihkan hukum wajibnya, semisal khitan, berkumur serta menghirup air ke hidung. Serta mampu saja perkara wajib disebut bersama yang dengannya perkara sunnah, semisal firman Allah Swt.: Anda sekalianmakanlahbuahnya disaat berbuah,serta berikan haknya tatkala hari panennya.” Memberikan hak (zakat) hukumnya wajib, serta hukum memakannya tak wajib. Wallahu a’lam. Adapun perincian hukumnya, maka khitan wajib pendapat dari Imam Syafi’i serta ulama tidak sedikit. Sunnah pendapat dari Malik serta mayoritas ulama. Pendapat dari al-Syafi’i wajib khitan itu bagi seluruh laki-laki serta perempuan. Lantas yng wajib bagi laki-laki merupakan memotong seluruh kulit yng menutupkhasyafah (ujung penis) menjadikan terlihat semuanya, sementara bagi wanita merupakan memotong sebagian kecil kulit yng berada di vagina bagian atas. Pendapat al-Shahih dalam madzhab kita yng disetujui mayoritas ulama Syafi’iyah menyatakan, khitan itu boleh di lakukan semasa kecil, serta tak wajib. Kita pula memiliki satu pendapat Ashhab yng menyatakan khitan itu wajib atas wali, yaitu mengkhitan anak kecilnya sebelum mencapai usia baligh. Terdapat juga pendapat Ashhabyng mengharamkan khitan sebelum mencapai usia 10 tahun. Disaat kita memutuskan yang dengannya pendapat al-shahih, maka disunnahkan mengkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran. Adakah hari kelahiran dihitung menjadi bagian dari tujuh hari itu? ataupun tanpa menghitung hari kelahiran? Dalam masalah ini ada dua pendapat Ashhab. Pendapat yng kuat merupakan menghitung hari kelahiran menjadi bagian tujuh hari yang telah di sebutkan. Serta begitu pula dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
أَمَّا خِتَانُ الْمَرْأَةِ فَاعْلَمْ أَنَّ مَدْخَلَ الذَّكَرِ هُوَ مَخْرَجُ الْحَيْضِ وَالْوَلَدِ وَالْمَنِيِّ وَفَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ ثَقْبٌ مِثْلُ إحْلِيلِ الرَّجُلِ هُوَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ وَبَيْنَ هَذَا الثَّقْبِ وَمَدْخَلِ الذَّكَرِ جِلْدَةٌ رَقِيقَةٌ وَفَوْقَ مَخْرَجِ الْبَوْلِ جِلْدَةٌ رَقِيقَةٌ مِثْلُ وَرَقَةٍ بَيْنَ الشَّفْرَيْنِ وَالشَّفْرَانِ تُحِيطَانِ بِالْجَمِيعِ فَتِلْكَ الْجِلْدَةُ الرَّقِيقَةُ يُقْطَعُ مِنْهَا فِي الْخِتَانِ وَهِيَ خِتَانُ الْمَرْأَةSedangkan khitan perempuan, maka ketahuilah, bahwasanya tempat masuknya penis merupakan tempat keluarnya haidh, anak serta mani. Di atas (bagian vagina) yng menjadi tempat masuknya penis terdapat lubang semisal lubang alat kelamin lelaki yng menjadi saluran kencing perempuan. Di antara saluran kencing serta tempat masuknya penis yang telah di sebutkan terdapat kulit tipis. Di atas saluran kencing perempuan itu terdapat kulit tipis semisal daun yng terdapat atau terletak di antara dua bibir vagina. Dua bibir vagina yang telah di sebutkan menutupi seluruh bagian-bagian yang telah di sebutkan. Kulit tipis di atas saluran kencing itulah yng sebagiannya dipotong tatkala khitan. Serta itulah khitan perempuan.
Maka khitan perempuan di lakukan yang dengannya tips menghilang-kan sebagian kecil kulit ari yng menutupi klitoris, bukan membuangnya percis sekali. Malah Rasulullah Saw. malahan mengingatkan supaya tak berlebihan dalam memotong, sebagaimana terungkap dalam hadits Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah di atas.Adapun waktu khitan bagi perempuan yng paling baik merupakan hari ketujuh dari kelahirannya. Ulama berbeda pendapat wacana penetapan hitungan hari ketujuh. Ada yng berpendapat hari pertama kelahiran dihitung satu hari, serta ini pendapat yng kuat, sementara itu, ada yng menganggap hari pertama tak dihitung.
Redaktur: Ulil H.Sumber: Keputusan Komisi bahtsul Masail al-Diniayah al-Maudhuiyyah Muktamar NU 32 di Makassar. dalam Ahkamul Fuqaha' Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas serta Konbes NU 1926-2010 (LTN PBNU - KHALISTA)

Sumber : http://www.nu.or.id

Sumber rujukan dan gambar : http://www.nangimam.com/2013/02/hukum-khitan-untuk-perempuan.html.

Seputar HUKUM KHITAN UNTUK PEREMPUAN

Advertisement
 

Cari Artikel Selain HUKUM KHITAN UNTUK PEREMPUAN