20 Faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Kualitas Susu

- Juni 17, 2017

20 Faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Kualitas Susu

 
Jumlah produksi dan kualitas susu yng diperoleh oleh sapi perah Amat berfariasi. Faktor – faktor yng berpengaruh terhadap tingginya produksi dan kualitas susu ditentukan oleh tidak sedikit faktor, faktor yng satu yang dengannya lain-lainnya Amat erat kaitannya. Faktor – faktor yang telah di sebutkan bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni faktor genetik dan faktor lingkungan.

FAKTOR GENETIK

Pengaruh genetik terhadap produksi dan kualitas susu sekitar 25 – 30 %. Faktor genetik yng memberi pengaruh produksi dan kualitas susu antara lain : Bangsa (Breeds)
Bangsa – bangsa sapi perah yng besar (large breeds) Holstein dan Brown Swiss jumlah produksi susunya lebih tidak sedikit daripada bangsa sapi yng kecil (small breeds) semisal Jersey dan Guernsey. Namun bangsa sapi perah yng kecil persentase kadar lemak susunya lebih tinggi andaikan dibandingkan yang dengannya bangsa – bangsa sapi perah yng besar. Tak seluruh bangsa sapi yng besar memiliki produksi susu yng besar juga, namun produksi susu yng tinggi itu biasanya diperoleh dari bangsa sapi perah yng besar.
Pendapat dari data hasil penelitian yng dihimpun Dairy Herd Improvement Association (DHIA) tahun 1965 –1966 menunjukan bahwasanya bangsa – bangsa yng berbeda menunjukan perbedaan jumlah produksi susu, kadar lemak, produksi lemak, dan jumlah pendapatan seusai dikurangi biaya pakan. Dalam penelitian yang telah di sebutkan sapi – sapi yng dipakai terdiri : Sapi Holstein 81,5% ; Sapi Guernsey 8,0% ; Sapi Jersey 6,0% ; Sapi Brown Swiss 2,0% ; Sapi Ayrshire 2,0% ; dan Sapi Milk Shorthorn 0,5%. Hasil penelitian menunjukan :
  1. Urutan tingkatan jumlah produksi susu sapi – sapi yang telah di sebutkan di atas merupakan : Holstein, Brown Swiss, Ayrshire, Guernsey, Milk Shorthorn, dan Jersey.
  2. Sedangkan urutan tingkatan kadar lemak susu merupakan : Jersey, Guernsey, Brown Swiss, Ayrshire, Milk Shorthorn / Holstein.
  3. Mengenai urutan jumlah produksi lemak susu merupakan : Holstein, Brown Swiss, Guernsey, Jersey, Ayrshire, dan Milk Shorthorn.
  4. Mengenai pendapatan seusai dikurangi biaya pakan selama satu tahun merupakan : Holstein, Guernsey, Ayrshire, Jersey, Brown Swiss, dan Milk Shorthorn.

Faktor Individu

Data yng dihimpun Holstein – Friesian Assosiasi di Amerika menunjukan bahwasanya setiap individu pada bangsa yng percis memiliki perbedaan jumlah produksi susu dan lemak. Didasari perincian produksi susu Mature Equivalen (ME) diklasifikasi menjadi : Sempurna (Excelent), Amat Tidak jelek alias bagus (Very good), Tidak jelek alias bagus Plus (Godd Plus), Tidak jelek alias bagus (Good), Cukup (Fair), dan Tidak lebih (Poor). Faktor Keturunan (Inheritance)
Variasi kemampuan sapi bagi atau bisa juga dikatakan untuk menghasilkan susu, lemak dan bahan padat bukan lemak (solid-non-fat = SNF) adalah sifat keturunan. Pada prinsipnya bahwasanya faktor keturunan pada bangsa-bangsa sapi perah yng sudah melalui seleksi dalam pembibitan secara cermat selama ratusan tahun diperoleh sapi yng bisa atau mampu menghasilkan jumlah produksi susu tinggi. Mengenai faktor keturunan kemampuan memproduksi susu tak lepas dari normalitas dari besarnya tubuh, kemampuan menampung/mencerna makanan, besarnya ambing, ketahanan terhadap penyakit dan kerasnya ambing. Kemampuan tiap individu sapi bagi atau bisa juga dikatakan untuk memproduksi susu ditentukan pula oleh sifat-sifat karakteristik keturunan, meliputi panjangnya periode produksi tertinggi (percistency). Faktor-faktor yng diwariskan di dalam menentukan kapasitas produksi susu pula ditentukan oleh tingkatan kandungan dan imbangan jumlah hormon. Sifat-sifat keturunan tampak terperinci bedanya pada sapi tipe potong yng bisa atau mampu merubah makanan menjadi daging. Namun pada sapi perah bisa atau mampu merubah makanan menjadi susu. Dari hasil-hasil penelitian tidak sedikit mendapatkan pembuktian adanya kebenaran faktor-faktor keturunan semisal yang telah di sebutkan di atas. Hasil penelitian di University of Illinois 1911-1919 diperoleh hasil, andaikan bangsa sapi Holstein dipersilangkan yang dengannya pejantan bangsa sapi Guernsey, ataupun sebaliknya maka jumlah produksi susu pada anaknya tidak lebih lebih 1/2 dari jumlah produksi kedua tetuany. Sapi-sapi yng dipakai penelitian baik sapi Holstein ataupun Guernsey umurnya rata-rata 2,8 tahun dan diperah dua kali sehari-hari. Produksi susu sapi-sapi Holstein rata-rata 7,763 pound. Sapi-sapi Guernsey produksi susu rata-rata 4.617 pound, F1 dari hasil persilangan produksi susunya merupakan 6.412 pound.

Faktor Lama Laktasi (Length of Lactation).

Sapi seusai melahirkan, lima hari pertama menghasilkan kolostrum. Pada awal laktasi produksi susu meningkat yang dengannya cepat, dan puncak (peak) produksi susu dicapai pada hari ke-30 – 60 ataupun minggu ke- 3 – 6 ataupun bulan ke- I – II. Sesudah puncak produksi dicapai selanjutnya produksi susu cenderung menurun hingga sapi kering (tak menghasilkan susu) ataupun sapi dikeringkan (pemerahan dihentikan lantaran sapi telah bunting 7 bulan). Pada tatkala produksi susu meningkat, kadar lemak dan kadar protein menurun. Sedangkan pada tatkala produksi susu menurun, kadar lemak dan kadar protein meningkat. Hubungan produksi susu yang dengannya kadar lemak berlangsung korelasi negatif, pengertiannya pada tatkala produksi susu mencapai puncaknya, kadar lemak terendah. Grafik produksi susu selama masa laktasi Yapp (1955) menyebutkan bahwasanya 50% produksi susu selama masa laktasi (calving interval 12 bulan) diperoleh selama 4 (empat) bulan pertama seusai melahirkan, sedangkan pada bulan ke-10 (produksi bulan yang terakhir pada calving interval 12 bulan) cuma 6% dari produksi selama masa laktasi (10 bulan). Sesuai yang dengannya data dari perusahaan sapi perah di Biara Rowoseneng Temanggung Jawa Sedang, dan data dari Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Timan-Soetarno, 1975) menunjukan adanya persamaan yang dengannya data yang telah di sebutkan di atas. Data selengkapnya proporsi produksi susu selama masa laktasi (10 bulan)
Data dari 428 ekor sapi yng tengah dalam keadaan laktasi di Iowa Experiment Station menunjukan puncak produksi susu selama laktasi pada sapi Jersey dan Guernsey tertinggi diperoleh pada bulan pertama seusai beranak, sedangkan sapi-sapi Holstein dan Ayrshire produksi susu tertinggi dicapai pada bulan kedua, dan seusai itu penurunannya percis yang dengannya bangsa-bangsa lain. Disini terlihat bahwasanya lamanya laktasi berpengaruh terhadap tingginya produksi susu.
Mengenai kadar lemaknya pendapat dari hasil penelitian di University of Missouri (yang dengannya 299 ekor Jersey, 3763 ekor Guernsey dan 95 ekor Holstein), menunjukan bahwasanya bangsa sapi Jersey dan Guernsey kadar lemaknya turun hingga bulan kedua dan bulan-bulan selanjutnya berangsur-angsur naik sampai-sampai pada bulan kesembilan ataupun kesepuluh, seusai itu kenaikannya lebih besar. Pada bangsa sapi Holstein pada prinsipnya pula demikian, namun yang dengannya perkecualian titik terendah kadar lemaknya dicapai hingga bulan ketiga
Intensitas Persistensi Produksi Susu Selama Laktasi. Semisal dijelaskan di muka, sapi perah seusai melahirkan, pada awal laktasi produksi susu meningkat. Grafik 10.1 menunjukan puncak produksi susu dicapai sekitar minggu ke- 3-6 ataupun bulan I-II. Sesudah puncak produksi dicapai, produksi susu selanjutnya rata-rata cenderung menurun.
Bagi sapi yng memiliki kemampuan mempertahankan puncak produksi (peak) secara terus-menerus (intensity persistency) selama laktasi, ini Amat menguntungkan lantaran Amat menentukan jumlah produksi. Sapi-sapi yng memiliki tingkatan puncak produksi yng percis selama laktasi, namun total produksi bisa berbeda 50%, hal ini penyebabnya yaitu adanya perbedaan persistency. Sapi yng memiliki kemampuan mempertahankan produksi susu tertinggi selama laktasi, menunjukan bahwasanya sapi yang telah di sebutkan persistensinya tidak jelek alias bagus (good persistency). Sedangkan sapi yng persistensinya tidak bagus (poor persistency) tak memiliki kemampuan mempertahankan puncak (peak) produksi yng dicapai. Curve produksi susu sapi-sapi perah yng memiliki persistensi tidak jelek alias bagus (good persistency), persistensi rendah (poor persistency) dan rata-rata (average persistency)Persistensi yng lebih tinggi dari curve rata-rata selama laktasi merupakan curve yng dikehendaki. Faktor-faktor yng berpengaruh terhadap tingginya persistensi antara lain :
  1. Umur (Age) Sapi perah biasanya menunjukan persistensi tinggi selama laktasi pertama daripada laktasi selanjutnya. Hal ini bisa dijelaskan, sapi yng beranak pertama kelenjar susu (mammary glands) lebih kecil daripada sapi yng telah dewasa, menjadikan jumlahprolaktin yng disekresikan barangkali mencukupi melindungi keseimbangan tingginya persistensi bagi kelenjar susu yng kecil, dan tidak lebih mencukupi bagi produksi susu yng lebih tinggi pada sapi yng telah dewasa produksi (maturity)
  2. Musim (Season) Pengaruh musim terhadap persistensi produksi susu, terlihat pada sapi-sapi yng beranak pada musim gugur (fall). Penelitian di Michigan menunjukan bahwasanya sapi-sapi yng diberi pakan di sangkar persistensi produksi susu lebih tidak jelek alias bagus dibanding sapi-sapi yng dilepas di umbaran.
  3. Kebuntingan (Pregnancy) Penelitian di Missouri menunjukan bahwasanya pengaruh kebuntingan terhadap persistensi poduksi susu baru terlihat seusai lama kebuntingan lima bulan. Pada tatkala kebuntingan lima bulan berlangsung penurunan persistensi produksi susu lebih cepat dibanding yang dengannya sapi yng belum bunting. Rupanya penurunan produksi susu sekitar 450 pound penyebabnya yaitu nutrisi yng semula bagi atau bisa juga dikatakan untuk kelenjar susu berpindah ke uterus bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan janin.
  4. Sisa Susu (Residual Milk) Ada kaitan yng erat antara persistensi yang dengannya persentase sisa susu di dalam ambing.Semakin tidak banyak sisa susu di dalam rongga ambing memicu tekanan di dalamnya makin rendah, menjadikan susu yng ada di kelenjar susu akan turun, dan selanjutnya akan membuat besar sekresi susu. Yang dengannya demikian semakin kecil sisa susu waktu pemerahan, persistensi produksi susu semakin meningkat.
  5. Menyusui (Nursing) Hingga tatkala ini masih didapati di New Zealand bahwasanya sapi disusu oleh dua ataupun tiga pedet pada awal laktasi. Sesudah itu sapi-sapi yang telah di sebutkan dikembalikan ke kelompoknya. Data menunjukan bahwasanya sapi yng disusui pedet pada awal laktasi, total produksi susunya lebih tinggi daripada yng tak disusu pedet. Hal ini bisa dijelaskan selama sapi disusu memberikan ketenangan dan memberikan stimulasi lebih besar bagi atau bisa juga dikatakan untuk menghasilkan susu dibanding andaikan sapi diperah yang dengannya tangan ataupun mesin. Yang dengannya demikian pengaruh sundulan pedet yng prekuen pada ambing sapi akan menghasilkan susu lebih tidak sedikit semisal halnya andaikan sapi diperah lebih prekuen (lebih dari dua kali) sehari, dan persistensi produksi susu akan lebih tinggi.

Estrus

Siklus reproduksi memiliki pengaruh kecil terhadap produksi susu, kecuali pada hari tatkala berlangsungnya heat jumlah produksi susu dan persentase kadar lemak menurun Amat hebat. Hasil penelitian di State College of Washington diperoleh data pengaruh siklus estrus terhadap poduksi susu. Dalam penelitian yang telah di sebutkan sapi-sapi diobservasi delapan hari sebelum hingga 11 hari seusai estrus. Adapun hasil-hasil penelitian yang telah di sebutkan merupakan menjadi berikut : 1. Pada permulaan periode laktasi (20 hingga yang dengannya 50 hari seusai beranak) tak tampak adanya pengaruh estrus terhadap produksi susu. Namun makinlama periode laktasi (lebih dari 50 hari) pada tatkala estrus berlangsung penurunan produksirata-rata 1,9 lb/hari bagi atau bisa juga dikatakan untuk pemerahan dua kali sehari, sedangkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk pemerahan tiga kali sehari penurunannya lebih kecil. 2. Pada biasanya dua hari sebelum dan dua hingga tiga hari seusai heat produksi susu lebih tinggi daripada hari-hari lain-lainnya selama di dalam observasi. 3. Produksi susu dan lemak pada tiga, empat dan lima hari sebelum estrus lebih rendah daripada waktu lain-lainnya, kecuali pada delapan hari seusai estrus. 4. Pengaruh umur, bulan pada waktu estrus dan panjang siklus estrus terhadap produksi pada tatkala estrus Amat kecil (tak nyata).

Hormonal

Satu dari sekian banyaknya faktor yng menentukan tingginya produksi susu sapi perah merupakan pengaruh optimalitas sekresi hormon warisan dari tetuanya (ayah dan induk). Andaikan rata-rata sekresi hormon yng memberi pengaruh produksi susu mengalami defisiensi, kapasitas sekresi susu akan dibatasi. Malah rendahnya produksi susu pula bisa berlangsung lantaran penyebabnya yaitu defisiensi satu dari sekian banyaknya hormon. Hormon yng berpengaruh terhadap produksi susu sapi antara lain : 1. Prolaktin (Laktogen) Hormon prolaktin disekresi dan ditampung di dalam glandula pituitaria anterior. Pada akhir kebuntingan jumlah esterogen meningkat. Satu dari sekian banyaknya pengaruh estrogen merupakan menstimulir sekresi prolaktin. Sesudah sapi melahirkan, sundulan pedet waktu menyusu ataupun palpasi waktu pemerahan baik yang dengannya tangan ataupun yang dengannya mesin menstimulir sekresi prolaktin. Hormon prolaktin berperan menaikan aktivitas enzim sel-sel epithel merubah aneka macam unsur pokok darah menjadi komponen susu. Tanpa adanya prolaktin, sel-sel kelenjar susu tak akan menghasilkan susu. Semakin tidak sedikit prolaktin, semakin besar juga gertakannya dan semakin keras bekerjanya kelenjar susu, menjadikan semakin besar juga hasil susunya.
Kenapa produksi susu akan lebih tidak sedikit andaikan pedet dibiarkan menyusu induknya daripada sapi diperah yang dengannya tangan ataupun mesin. Hal ini bisa dijelaskan andaikan pedet menyusu langsung produksi susu akan lebih tinggi lantaran frekuensi stimulasi dari pedet lebih tidak sedikit daripada diperah yang dengannya tangan ataupun mesin dua kali sehari. Andaikan sapi diperah dalam keadaan takut memicu sekresi prolaktin terganggu menjadikan sekresi susu pula terhenti.
Banyaknya prolaktin yng diperoleh oleh kelenjar endokrin yakni kelenjar pituitaria bergantung besar dan bobotnya kelenjar yng menghasilkan. Pendapat dari hasil penelitian menunjukan diluar dugaan pada sapi potong hormon yng diperoleh glandula pituitaria lebih kecil daripada sapi perah, dan hormon yang telah di sebutkan naik seusai partus. Yang dengannya adanya stimulasi pada waktu pemerahan memicu adanya pelepasan hormon dari pituitaria ke dalam sirkulasi darah. Jumlah hormon prolaktin menurun seusai periode laktasi berjalan lama.
Pengaruh hormon prolaktin sudah diteliti/dibuktikan Suwadi-Sindoeredjo (1960) pada seekor sapi perah Grati, berat badanya seusai beranak 412 kg, dan pada permulaan laktasi mendapatkan makanan yng memiliki kandungan protein 14 % dan menghasilkan susu 11 liter/hari. Lantas makanannya dikurangi sampai-sampai pendapat dari perhitungan cuma cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk memelihara hidupnya saja, yakni 35 kg rumput 1 (satu) kg makanan penguat, yng terdiri dari dedak, bungkil kelapa, dan tidak banyak garam yng kesemuanya memiliki kandungan protein 8 %, susunya turun menjadi 9,7 liter/hari, jadi tidak lebih 1,3 liter dari semula. Namun seusai satu bulan diluar dugaan sapi yang telah di sebutkan menjadi begitu kurus dan lemah menjadikan hampir tak bisa berdiri dan berat badannya menjadi 357 kg, jadi turun tidak lebih lebih 55 kg. Dari semisal yang telah di sebutkan di atas, pendapat dari peneliti ditarik kesimpulan bahwasanya sapi menghasilkan susu itu terdorong oleh prolaktin yang dengannya mengambil sebagian besar bahan-bahan yng dibutuhkan dari tubuhnya guna pembentukan susu. 2. Thyroxine. Hormon thyroxine disekresi oleh glandula thyroid (kelenjar gondok) dan ini penting pada waktu sapi dalam keadaan laktasi karena bisa menaikan nafsu makan, denyut jantung, sirkulasi darah ke kelenjar susu, dan sekresi susu. Thyroxine adalah pengatur utama kecepatan/menaikan metabolisme dasar ( basal metabolic rate = BMR). Penelitian di Missouri menunjukan bahwasanya rata-rata sekresi thyroxine setiap harinya pada sapi potong cuma sebanyk setengahnya sapi perah. Penelitian lebih lanjut menunjukan bahwasanya sekresi thyroxine pada sapi perah di musim panas (summer) cuma sepertiganya musim dingin. Peneliti lain menyebutkan sekresi thyroxine rendah pada tatkala cuaca panas. Andaikan sapi perah yng sadang laktasi di lakukan thyroidectomy (kelenjar gondok dihilangkan) berlangsung penurunan sekresi susu hingga 75 %. Sekresi susu bisa dipulihkan yang dengannya suntikan thyroxine. Penelitian selanjutnya menunjukan bahwasanya pengaruh thyroxine terhadap produksi susu bisa dibuktikan andaikan hormon thyroxine disuntikkan pada sapi yng tengah laktasi diluar dugaan kemampuan memproduksi susu meningkat. 3. Hormon Pertumbuhan Hormon Pertumbuhan (growth hormon) adalah hormon yng disekresikan glandula pituitaria anterior. Meskipun hormon pertumbuhan penekanannya bagi atau bisa juga dikatakan untuk kecepatan pertumbuhan pada ternak muda, hasil eksperimen menunjukan bahwasanya hormon yang telah di sebutkan memberi pengaruh precursor susu, menaikan tersedianya glucosa dalam darah, asam amino, dan asam lemak di dalam sel-sel kelenjar penghasil susu. 4. Hormon Parathyroid Hormon parathyroid berperan mengontrol konsentrasi calsium dan phosphor darah. Hormon yang telah di sebutkan Amat penting mengontrol mineral jangan hingga berlebihan dalam sekresi susu. 5. Hormon Adrenalin Hormon adrenalin diperoleh oleh kelenjar adrenalis penting bagi atau bisa juga dikatakan untuk menormalkan fungsi tubuh, namun jumlah tinggi mendepres sekresi susu. Sekresi hormon adrenalin meningkat tatkala stres dan menahan keluarnya susu (hold up her milk) lantaran memicu pembuluh darah berkontraksi/penyempitan, ataupun memicu peranan hormon oksitosin menurun. Hal ini bisa berlangsung andaikan ada gangguan dari luar yng memicu ketakutan ataupun kegelisahan (stres) pada sapi. 6. Hormon Oksitosin Hormon oksitosin (oxytocine hormone) diperoleh oleh glandula pituitaria pars posterior yng letaknya di dasar otak. Proses pelepasan hormon oksitosin bisa berlangsung andaikan sapi mendapatkan rangsangan dari luar. Mengenai kebenaran pengaruh hormon oksitosin ini sesuai hasil penelitian andaikan hormon oksitosin disuntikkan pada sapi perah yng tengah laktasi bisa menaikan produksi susu hingga tujuh liter per hari. Kenaikan produksi susu yang telah di sebutkan pengaruhnya bersifat sementara. Yang dengannya adanya penyuntikan yang telah di sebutkan pengaruhnya terlihat hingga pertengahan laktasi, napsu makannya tampak baik.
Penelitian lebih lanjut, andaikan sapi yng tengah laktasi disuntik yang dengannya hormon oksitosin langsung ke dalam arteri pudica eksterna yng menuju ke ambing bagian kanan, pemerah dalam waktu singkat akan memperoleh susu dari ambing bagian kanan, namun pada ambing sebelah kiri tak mengeluarkan susu. Baru kira-kira 50 – 60 detik seusai oksitosin disuntikkan ambing bagian kiri pula mulai melepaskan susu secara normal. Yang dengannya demikian bisa dibuktikan bahwasanya hormon oksitosin terperinci berperan membantu proses pelepasan susu (let down of milk).

Lama Bunting

Penelitian di State College of Washington pada sapi-sapi yng dikawinkan 60 hari seusai beranak, diluar dugaan baik yng telah bunting ataupun yng belum, pada hari-hari selanjutnya keduanya berlangsung penurunan produksi susu tak signifikan. Namun seusai kebuntingan antara enam hingga tujuh bulan penurunan produksi susu sapi yng bunting lebih cepat dari pada yng tak bunting. Yang bunting penurunannya hingga tiga-empat kali lebih cepat daripada sebelumnya. Penurunan produksi susu yng besar itu diperkirakan lantaran besarnya perubahan imbangan hormon, dan kebutuhan nutrisi bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertumbuhan fetus sekitar 400 hingga 600 lb susu. Hasil penelitian pula menunjukan adanya keseringan perbedaan penurunan produksi pada sapi-sapi laktasi I dan II umur 2-3 dan 3-4 tahun penurunannya lebih lambat daripada sapi-sapi yng lebih tua.

Umur (Age of Cows)

Sapi-sapi di daerah subtropis yng berasal dari Bos Taurus, dewasa produksi ataupun produksi susu tertinggi (mature cows) dicapai pada laktasi IV ataupun V umur sekitar 5-6 ataupun 6-7 tahun. Andaikan sapi beranak pertama umur 2-3 tahun, yang dengannya jarak beranak selanjutnya (calving interval) 12 bulan, lama laktasi 10 bulan (305 hari), dewasa produksi ataupun produksi susu tertinggi (100%) dicapai pada laktasi IV (umur sekitar 5-6 tahun), produksi susu laktasi I, II, dan III (umur 2-3, 3-4, dan 4-5 tahun) masing-masing rata-rata sekitar 70, 80, dan 90% produksi mature cows ( 100%). Kalau produksi tertinggi (mature cows) dicapai pada waktu laktasi V (umur sekitar 6-7 tahun) produksi susu laktasi I, II, III, dan IV (umur 2-3, 3-4, 4-5, dan 5-6 tahun) masing-masing rata-rata sekitar 70, 80, 90, dan 95% produksi mature cows (100%). Sesudah produksi tertinggi (mature cows) dicapai, umumnya produksi susu menurun secara berangsur-angsur tanpa menunjukan tanda-tanda penurunan yng terperinci sampai-sampai umur 10-12 tahun. Sapi-sapi yng beranak pada umur sekitar 8, 9, 10, 11, dan 12 tahun, produksi susu rata-rata sekitar 99, 98, 96, 94 dan 91%-nya mature cows. Sesudah sapi umur di atas 12 tahun umumnya sapi dikeluarkan dari perusahaan lantaran adanya gangguan reproduksi dan gangguan kebugaran atau kesehatan. Kadang-kadang sapi bisa atau mampu menghasilkan susu secara teratur hingga umur 15 tahun ataupun lebih. Didasari hasil olahan data catatan produksi susu (Timan-Soetarno, 1975) sapi-sapi Holstein di Peternakan sapi perah di Biara Rowoseneng, Temanggung Jawa Sedang yng diimpor langsung dari Negeri Belanda tahun 1965 dalam keadaan bunting (diantaranya tiga ekor melahirkan di perjalanan), menunjukan adanya pengaruh faktor umur terhadap produksi susu. Olahan data produksi susu sapi perah Holstein di Biara Rowoseneng yang telah di sebutkan di atas menunjukan adanya kesamaan yang dengannya Anderson et. al. (1963) menjelaskan, kalau sapi dalam kondisi normal produksi susu pada sapi heifer beranak pertama pada umur 2-3 tahun produksinya 70-77 %nya bila dibandingkan yang dengannya produksi mature cows. Sapi yng beranak kedua dan ketiga masing-masing umur 3-4 tahun dan 4-5 tahun masing-masing produksi susu sebanyk 80-87% dan 90 hingga 95%nya mature cows (umur lima hingga tujuh tahun), laktasi keIV. Data yng diadukan atau dilaporkan U.S. Department of Agriculture (USDA) yng bersumber pada Dairy Herd Improvement Registry (DHIA) dalam Farmer's Bulletin 1443, June 30, 1966 menunjukan bahwasanya bangsa-bangsa sapi perah yng masih pure breeds antara lain ayrshire, Brown Swiss, Guernsey, Holstein Friesian dan Jersey, selain jumlah produksi susu selama periode laktasi tak percis, pula dari tiap bangsa yang telah di sebutkan diatas yang dengannya umur yng berbeda menunjukan produksi susu yng berbeda juga. Pada Tabel 10.7, 10.8, 10.9, 10.10 dan 10.11 menunjukan bahwasanya yang dengannya pemerahan 2 kali sehari sapi yng beranak pertama berumur tidak lebih dua tahun (yearlings) produksi susunya selama masa laktasi (305 hari) lebih kecil dibanding yang dengannya sapi yng beranak pada umur 2-2,5 tahun (yunior 2 years-old). Dan sapi yng beranak pada umur 2,5-3 tahun (senior 2 years-old) produksi susu lebih besar dibanding yang dengannya sapi yng beranak pada umur 2-2,5 tahun (yunior 2 years-old), Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendapatkan gambaran produksi susu pada umur yng berbeda selama masa laktasi (305 hari) sederajat yang dengannya produksi susu sapi yng telah dewasa produksi/ produksi tertinggi/dewasa produksi (mature cows) bisa mempergunakan tabel faktor konversi umur Mature Equivalent (ME) Tabel 10.12. Produksi susu sapi perah di daerah tropik, sapi Sahiwal, Red Sindhi (Sikka, 1931 ; Mahadevan, 1958) pada umur berbeda menunjukan variasi produksi yng berbeda juga. Sapi-sapi di daerah subtropis (di Eropa) puncak produksi susu dicapai pada laktasi keIV ataupun keV, tengah pada ternak daerah tropik puncak produksi dicapai pada laktasi keIII ataupun keIV. Kenaikan produksi dari laktasi pertama hingga produksi maksimal sapi-sapi daerah tropik lebih rendah daripada sapi-sapi di daerah subtropis. Sapi-sapi di daerah tropik murni (sapi-sapi Zebu) di Lahore, Ferosepur, dan Fusa di India jumlah kenaikan produksi dari laktasi pertama hingga produksi maksimum merupakan 10%. Di Ceylon kenaikan produksi sapi-sapi Sinhala dan Red Sindhi merupakan 15 dan 6%. Sedangkan sapi-sapi perah di negara-negara subtropis (Sapi Bos Taurus) kenaikan produksi susu mencapai 25 hingga 30%. Hal ini mungkin penyebabnya yaitu perbedaan genetis dan perbedaan tingkat manajemen dari dua daerah yang telah di sebutkan.
Sapi-sapi di daerah tropik umumnya beranak pertama satu tahun lebih lambat daripada sapi-sapi di daerah subtropis, dan calving interval pula lebih panjang. Atas dasar dua faktor yang telah di sebutkan di atas memicu sapi-sapi Zebu umumnya pada umur tidak lebih lebih 7 tahun baru mengalami laktasi keIII ataupun keIV. Sedangkan sapi-sapi di negara Eropa padaumur 7 tahun sudah mencapai laktasi yng keV. Mengenai rendahnya kenaikan produksi dari laktasi yng pertama hingga puncak produksi dicapai pada sapi perah di daerah tropik, menunjukan suatu bukti adanya hubungan tingkat seleksi yng masih rendah dalam perkembangan bangsa ternak perah di daerah tropik.didasari hasil penelitian yang dengannya adanya perubahan perlakuan dari lima bangsa sapi perah Eropa di Ceylon (Mahadevan, 1958), andaikan umur sapi waktu beranak pertama diperlambat (40 bulan) dan panjang jarak beranak 466 hari maka produksi tertinggi pada laktasi yng keIII yang dengannya kenaikan produksi 19-32%. Pada sapi Zebu walaupun di daerah subtropis pula menunjukan kenaikan produksi lebih tidak banyak andaikan dibanding yang dengannya ternak Eropa yng sudah mengalami seleksi.
Disini terperinci terlihat bahwasanya umur sapi pada waktu beranak pertama dan panjangnya calving interval menentukan laktasi dimana produksi tertinggi dicapai tanpa memandang apakah ternak daerah tropik ataupun subtropis. Mengenai kenaikan produksi susu dari laktasi pertama hingga maturity tampak bergantung dari perbedaan hasil seleksi bangsa ternak yang telah di sebutkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memproduksi susu sejak ternak mengalami domestikasi. Fakta menunjukan bahwasanya bangsa sapi zebu seleksinya relatif tidak lebih ketat andaikan dibanding yang dengannya sapi-sapi Eropa.

Ukuran Badan

Sudah disebutkan di muka bahwasanya bangsa sapi perah yng berukuran besar (large breeds) semisal sapi Holstein dan Brown swiss produksi susunya lebih tidak sedikit dari bangsa sapi perah yng berukuran kecil (small breeds) semisal sapi Guernsey dan Jersey. Tak seluruh bangsa sapi perah yng berukuran besar memiliki produksi susu tinggi, namun produksi susu yng tinggi biasanya diperoleh dari bangsa sapi yng berukuran besar

FAKTOR LINGKUNGAN

Pengaruh lingkungan terhadap produksi dan kualitas susu sekitar 70-75%. Faktor linkungan yng berpengaruh terhadap produksi dan kualitas susu antara lain :

Faktor Pakan (Feeding)

Pakan adalah satu dari sekian banyaknya faktor lingkungan yng turut menentukan optimalitas produksi susu selama laktasi. Ypp (1955) menyebutkan banyaknya dan mutu pakan merupakan adalah satu dari sekian banyaknya faktor yng penting pengaruhnya terhadap jumlah produksi dan komposisi susu. Pemberian pakan secara bebas yang dengannya kandungan nutrisi yng imbangannya rasional bermanfaat bagi atau bisa juga dikatakan untuk menentukan tingginya produksi susu. Namun pemberian pakan yng jumlahnya lebih dari ketentuan tak akan menaikkan produksi lebih daripada kemampuan sapi. Pemberian pakan jauh di bawah jumlah yng dibutuhkan akibatnya akan menjadi parah mengenai jumlah produksi ataupun komposisi susu. Akibat lebih lanjut berat sapi menurun dan jumlah produksi susu dan tes susu akan jatuh.
Pendapat dari hasil penelitian yng di lakukan di Maryland Experiment Station menunjukan adanya pengaruh pemberian pakan yng berbeda. Penelitian yang telah di sebutkan mempergunakan 8 ekor sapi yng dipelihara di daerah pertanian selama satu tahun. Pada tahun selanjutnya yang dengannya sapi yng percis dipelihara di suatu tempat dan diberi pakan yng sesuai yang dengannya yng dibutuhkan.
Mengenai pengaruh pakan terhadap produksi susu pula diteliti oleh New York Experiment Station dimana sekelompok sapi yng sudah diseleksi mewakili sapi-sapi di daerah pertanian dekat Cornell University. Selama satu tahun (tahun pertama) sapi-sapi yang telah di sebutkan diberi pakan oleh pemiliknya sendiri, namun pencatatan makanan yng diberikan dan produksi susunya di lakukan oleh petugas-petugas penelitian. Sesudah itu, dua tahun lantas (tahun kedua dan ketiga) sapi-sapi yang telah di sebutkan dipelihara di sangkar penelitian dan diberi pakan yng rasional sesuai yang dengannya kebutuhannya. Lantas pada tahun selanjutnya (tahun keempat) sapi dikembalikan di daerah pertanian diberi pakan oleh pemiliknya. Hasil penelitian mengenai produksi susu rata-rata per tahun selama empat tahun dan panjangnya periode laktasi sapi yng dipelihara selama dua tahun di sangkar penelitian rata-rata menunjukan produksi susu dan lemak tiap tahunnya lebih tidak sedikit daripada selama tahun pertama di petani. Produksi susu di petani pada tahun keempat lebih tinggi dari tahun pertama, hal ini ada dugaan barangkali penyebabnya yaitu adanya pemberian pakan yng rasional selama di station. Selain itu lantaran pemberian pakan yng rasional di station yang telah di sebutkan bisa pula menaikkan panjang peiode laktasi dari 34 menjadi 43 minggu. Namun pada tahun keempat seusai sapi dikembalikan ke petani, panjang periode laktasi turun dari 43 menjadi 38 minggu.
Mengenai pengaruh pakan terhadap produksi susu pula sudah diteliti di New Jersey Experiment Station. Bagi sapi-sapi yng kering ataupun produksi rendah cukup diberi hijauan. Namun bagi sapi-sapi yng berproduksi tinggi pakan yng demikian tidak lebih cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk memberikan energi guna mencapai produksi yng tinggi.Lantaran sapi cuma diberi hijauan produksi tertinggi tak akan bisa diharapkan, namun kadang-kadang kenaikan produksi yang dengannya pemberian pakan konsentrat tak cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk menutup harga pakan tambahan yang telah di sebutkan. Dalam keadaan demikian pemberian pakan konsentrat dianggap tidak lebih ekonomis. Ada kalanya produksi yng tinggi diperoleh walaupun sapi cuma diberi pakan hijauan saja, namun umumnya produksinya tak akan sebanyk andaikan diberi pakan konsentrat.
sapi-sapi yng beranak pada musim rontok ataupun pada musim dingin produksi susu rata-rata selama satu tahun lebih tinggi daripada andaikan sapi-sapi beranak pada musim semi ataupun musim panas. Sapi-sapi yng beranak pada musim semi, pada musim panas produksinya akan turun. Andaikan produksi sekali turun, produksi sukar dinaikkan pada musim rontok dan dingin. Sedangkan sapi-sapi yng beranak pada musim rontok, andaikan ransumnya rasional, produksi susunya akan tetap baik selama musim dingin, dan andaikan pada musim semi sapi-sapi dilepas pada pasture produksi akan tetap dipertahankan. Tengah pada bulan-bulan musim panas telah mendekati periode kering, produksi susu memanglah telah tak begitu tidak sedikit, sedangkan kalau sapi beranak pada musim panas, puncak produksi (peak) merupakan paling rendah.
Mengingat sapi-sapi yng beranak pada musim rontok dan musim dingin produksi susu lebih tinggi dari pada sapi-sapi yng beranak musim semi dan musim panas, supaya perusahaan yng menjual susu kepada para pelanggan eceran bisa dikirim sepanjang tahun, butuh adanya pengaturan perkawinan. Pada tatkala pergantian musim selain berpengaruh terhadap produksi susu, pula memiliki pengaruh terhadap kualitas susu. Kadar lemaknya rendah pada akhir musim panas dan tinggi pada musim dingin. Andaikan sapi beranak pada musim rontok dan dingin jumlah produksi susu ataupun jumlah lemaknya lebih tinggi dari pada sapi-sapi yng beranak pada musim semi dan musim panas. Perbedaan produksi ini memiliki variasi yng berbeda-beda pada setiap daerah. Sesuai Tabel 10.17 bahwasanya sapi-sapi yng beranak pada musim panas baik jumlah produksi dan jumlah lemaknya paling rendah, sedangkan jumlah produksi susu dan lemaknya paling tinggi merupakan sapi-sapi yng beranak pada musim gugur. Perbedaannya diperkirakan sebanyk 10-15%.
Pengaruh musim terhadap produksi susu dan lemak sesuai uraian yang telah di sebutkan di atas disebutkan bahwasanya sapi-sapi yng beranak pada musim rontok dan musim dingin jumlah produksi susu dan lemaknya lebih tinggi daripada sapi-sapi yng beranak pada musim semi dan musim panas. Kenapa berlangsung demikian hal ini bisa dijelaskan sesuai laporan sapi-sapi perah di daerah subtropis temperatur ideal merupakan antara 30-600F (-1,11o-15,56oC) yang dengannya kelembaban udara rendah (< 80%) dan temperatur kritis sekitar 80-85oF (26,67o-29,44oC). Andaikan temperatur udara naik di atas 60oF yakni hingga temperatur 80oF pengaruhnya terhadap produksi susu setiap individu merupakan kecil. Temperatur kritis pada sapi Holstein 80,6oF (27oC), Brown Swiss 82,4oF (28oC), Brahman 95oF (35oC).
Andaikan temperatur udara naik di atas temperatur kritis maka memicu pengeluaran panas badan terhalang, akibatnya temperatur tubuh sapi naik. mperatur kritis sapi-sapi daerah subtropis merupakan sekitar 80-85oF, memicu pengeluaran panas badan terhalang akibatnya temperatur tubuh naik, dan napsu makan menurun drastis. Andaikan temperatur udara 100,4oF (38oF) pakan yng dimakan mendekati nol. Hal ini berlangsung andaikan semata-mata cuma bergantung pada temperatur udara saja. Lantaran pendapat dari fakta faktor kelembaban udara pula penting pada temperatur 75oF ke atas, khususnya pada temperatur 85oF ke atas.
Mengenai penurunan produksi susu pada temperatur kritis merupakan sejajar yang dengannya turunnya konsumsi pakan. Sedangkan pada temperatur lingkungan 5oF (-15oC) konsumsi pakan meningkat dan produksi susu menurun
Pendapat dari laporan DHIA di Arizona menunjukan bahwasanya sapi-sapi Holstein mature cows yng beranak pada bulan-bulan musim panas, rata-rata produksi susu selama laktasi 20% lebih kecil daripada sapi-sapi yng beranak selama bulan-bulan musim dingin.
Pengaruh musim terhadap produksi susu ada dugaan pula dialami oleh sapi-sapi di daerah tropik. Berdasar pengolahan data produksi susu sapi-sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan UGM (Timan-Soetarno, 1978, tak dipublikasikan) menunjukan adanya perbedaan produksi susu sapi-sapi yng beranak pada musim hujan (wet season) yang dengannya yng beranak pada musim kemarau (dry season). Sapi-sapi yng beranak pada musim hujan produksi susu selama masa laktasi (10 bulan) secara kuantitatif lebih rendah dibanding sapi-sapi yng beranak pada musim kemarau. Rendahnya produksi susu sapi-sapi yng beranak pada musim hujan "diduga" penyebabnya yaitu: (1). Kelembaban udara pada musim hujan Amat tinggi; (2). Kadar air hijauan (rumput) yng dikonsumsi Amat tinggi, menjadikan walaupun konsumsi hijauan (rumput) tidak sedikit, namun konsumsi bahan kering secara keseluruhan sapi-sapi yng beranak pada musim hujan (wet season) lebih rendah dibanding sapi-sapi yng beranak pada musim kemarau (dry season). Kebenaran dugaan yang telah di sebutkan butuh diuji/ diteliti lebih lanjut.

Faktor Lama Pengeringan

Lama pengeringan ataupun lama periode kering (length of dry period) menentukan besarnya produksi susu pada laktasi selanjutnya. Hal ini penting bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengembalikan kondisi ambing dan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memberikan peluang mengganti kelenjar susu yng rusak selama laktasi. Lagi juga peluang ini diperuntukkan supaya sapi pada waktu beranak kondisi tubuhnya prima. Periode kering yng panjang bisa diharapkan pada laktasi selanjutnya akan menghasilkan produksi susu yng tinggi setiap harinya.
Periode kering umumnya di lakukan enam hingga delapan minggu, produksi susu pada laktasi selanjutnya akan lebih tinggi daripada kalau periode pengeringannya empat minggu. Pada sapi-sapi yng calving intervalnya 12 bulan pengeringan 60 hari (dua bulan) setiap periode laktasi merupakan yng paling tepat.

Kondisi Tatkala Beranak

Andaikan sapi pada tatkala melahirkan kondisinya menurun ataupun keadaan sapi kurus, produksi susu akan lebih tidak banyak andai dibanding yang dengannya sapi yng beranak dalam kondisi baik. Andaikan sapi beranak dalam keadaan prima produksinya 25% lebih tidak sedikit dari sapi yng beranak dalam keadaan tidak lebih baik.

Jarak Beranak

Hasil penelitian menunjukan bahwasanya keuntungan dalam bidang bisnis peternakan sapi perah terbesar andaikan peternak bisa mengatur sapi perah beranak pertama umur sekitar 2-3 tahun, jarak beranak (calving interval) 12 bulan, yang dengannya masa kering 2 bulan dan lama laktasi (pemerahan) 10 bulan. Sesuai Tabel 10.4 menunjukan pada awal laktasi jumlah produksi mencapai 13% total produksi susu selama masa laktasi (10 bulan) Produksi pada bulan-bulan selanjutnya berlangsung penurunan, dan pada bulan ke 10 produksi susu pada sapi yng jarak beranaknya satu tahun produksi susu tinggal 6% total produksi selama masa laktasi. Andaikan jarak beranak lebih dari satu tahun rata-rata produksi susu per hari akan lebih kecil daripada sapi-sapi yng jarak beranaknya satu tahun.

Frekuensi Pemerahan

Frekuensi pemerahan berpengaruh terhadap tingginya produksi susu setiap harinya. Sapi-sapi yng produksinya tinggi andaikan pemerahan di lakukan tiga ataupun empat kali sehari kalau dibanding yang dengannya pemerahan dua kali sehari, selain menaikan produksi susu setiap harinya pula bisa mempertinggi persistensi. Namun pada sapi-sapi yng produksinya rendah walaupun pemerahan di lakukan tiga ataupun empat kali sehari, kenaikannya Amat kecil. Sebaiknya sapi diperah lebih dari dua kali sehari pada tatkala produksi tinggi yakni mulai sehabis melahirkan hingga 60 ataupun 120 hari, dan pada periode laktasi selanjutnya cuma diperah dua kali sehari.
Pemerahan tiga kali sehari yang dengannya interval delapan jam hasil nya akan mencapai 15 samapi 20% lebih tidak sedikit daripada pemerahan dua kali sehari. Tengah pemerahan empat kali sehari hasil nya 25 samapi 30% lebih tidak sedikit daripada pemerahan dua kali sehari. Dalam hal ini yng butuh diperhatikan apakah pemerahan lebih dari dua kali sehari tambahan produksinya bisa dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk menutup gaji pekerja dan ongkos-ongkos lain-lainnya.
Satu dari sekian banyaknya data dari Herd Improvement Registry Test, bahwasanya pemerahan tiga kali sehari diluar dugaan produksi rata-ratanya lebih tinggi andaikan dibanding yang dengannya pemerahan dua kali sehari, bisa dibuktikan pada sapi-sapi Brown Swiss semisal pada Tabel 10.18.

Faktor Kecepatan Pemerahan

Hasil penelitian di University of Illinois, menyebutkan bahwasanya pemerahan yng sempurna dibutuhkan waktu secepat barangkali. Kecepatan pemerahan pula dipengaruhi tempat puting pada ambing ataupun besarnya puting. Puting yng cukup besarnya akan membuat mudah dalam melakukan pemerahan, baik pemerahan yang dengannya mesin ataupun yang dengannya tangan lantaran keluarnya susu lebih lancar.Semisal disebutkan dimuka, turunnya susu (let down of milk) penyebabnya yaitu oleh hormon oksitosin yng diperoleh oleh glandula pituitaria pars posterior yng terdapat atau terletak di dasar otak. Andaikan di lakukan rangsangan yakni mencuci ambing dan putting yang dengannya air Anget, maka syaraf mengirimkan rangsangan yang telah di sebutkan ke otak, yng memicu dihasilkannya hormon oksitosin yng dicurahan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah, lantas diangkut ke ambing, yng memicu muskulus-muskulus yng mengelilingi alveoli dan saluran-saluran kecil (small ductus) berkontraksi.
Sejak adanya rangsangan hingga turunnya susu (let down of milk) butuh waktu 45-60 detik. Pemerah baik yang dengannya tangan ataupun mesin satu menit seusai ambing dicuci, Perlu segera dimulai, lantaran pengaruh hormon oksitosin paling efektif lebih tidak lebih tujuh menit, maka pemerahan Perlu selesai sebelum waktu yang telah di sebutkan. Kebanykan pemerahan bisa diselesaikan dalam waktu tiga hingga empat menit, ada kalanya tidak lebih dari waktu yang telah di sebutkan. Namun ada pula sapi-sapi yng pemerahannya lambat, hal ini penyebabnya yaitu adanya putting-putting dan ambing yng menghambat sirkulasi susu menjadikan memicu lamanya pemerahan.
Mengenai terjadinya let down of milk, hal ini bisa berlangsung yang dengannya adanya rangsangan yng memicu asosiasi proses pemerahan ataupun rangsangan syaraf pada ujung puting yng peka terhadap sentuhan. Rangsangan yng paling ideal merupakan sundulan dan kecutan dari pedet. Sedangkan rangsangan berupa rabaan pada ambing dan puting ataupun mencuci yang dengannya air Anget merupakan metode yng biasa dipakai.

Pergantian Pemerah (Change of Milkers)

Sapi perah lebih suka diperah secara teratur oleh pemerah yng percis, lebih-lebih pemerahan yang dengannya tangan, pemerah yng bersangkutan adalah faktor yng Amat penting, lebih-lebi sapi yng produksinya tinggi akibat pergantian pemerah bisa memicu stress, lantaran pada biasanya sapi sensitif terhadap segala perubahan salah satunya pergantian pemerah.
Mengenai pengaruh pergantian pemerah sesuai pengamatan penulis di Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan UGM (tak dipublikasikan) terdapat dua petugas pemerah (pemerah A dan B). Pemerah A memerah sapi pada pagi hari dan pemerah B memerah sapi pada sore hari.
Andaikan pemerah A libur, pemerahan sapi pada pagi dan sore hari di lakukan oleh pemerah B, jumlah produksi susu keseluruhan lebih kecil dari pada produksi susu rata-rata. Andaikan pemeah B libur, pemerahan sapi pada pagi dan sore hari di lakukan oleh pemerah A, jumlah produksi susu keseluruhan lebih besar dari pada produksi susu rata-rata. Walaupun pemerah B telah berusaha hingga puluhan tahun tetap tak bisa menyamai pemerah A.

Pemerahan Berganti-ubah

Pemerahan yng tak tetap selain memicu perubahan produksi susu pula komposisinya. Eksperimen pengaruh pemerahan yng berubah-ubah pernah di lakukan penulis (1975) di peternakan sapi perah di Biara Rowoseneng Temanggung (tak dipublikasikan), mempergunakan lima ekor sapi Holstein, lama laktasi 4-5 bulan frekuensi pemerahan semula di lakukan dua kali sehari dirubah menjadi tiga kali sehari. Kenyataannya semula frekuensi pemerahan dua kali sehari dirubah menjadi tiga kali produksinya pada hari pertama turun yang dengannya drastis, dan pada hari ke tujuh eksperimen dihentikan lantaran tak ada kenaikan produksi, dan penulis sadar membuat kesalahan merubah perlakuan, semula pemerahan di lakukan dua kali sehari telah berjalan 4-5 bulan dan produksi susu telah menurun (rendah). Seharusnya pemerahan tiga kali sehari dimulai sejak awal laktasi ataupun tatkala produksi susu masih tinggi.

Perawatan dan Perlakuan

Sapi perah produksi susu tinggi menghendaki perawatan dan perlakuan yng ramah dan lemah lembut, lebih-lebih pada waktu pemerahan. Waktu melakukan pemerahan hendaknya diusahakan keadaan di sekitarnya Perlu tenang, jauh dari kegaduhan, Perlu dihindari gangguan anjing, kehadiran orang-orang yng belum dikenal dan perlakuan yng kasar.
Suasana yng tenang, perawatan dan perlakuan yng baik dan ramah lebih-lebih pada waktu pemerahan akan berpengaruh terhadap jumlah produksi susu. Perawatan dan perlakuan yng tak teratur dan kasar, dan suasana yng gaduh pada waktu pemerahan memicu sapi jadi takut (stres) menghasilkan pelepasan susu akan terganggu, kata orang "susunya ditahan". Hal ini penyebabnya yaitu oleh adanya hormon adrenalin yng diperoleh oleh kelenjar adrenalis pada buah pinggang yng disebut pula "hormon kemarahan". Hormon adrenalin dicurahkan secara cepat ke dalam darah, memicu pembuluh darah menyempit ataupun meniadakan pengaruh hormon oksitosin ataupun menghentikan pengaruh hormon pelepas susu lantaran kontraksi sel-sel myoepithel terhalang. Oleh lantaran itu, andaikan sapi tengah ketakutan, marah ataupun dalam kodisi yng tak normal pada waktu pemerahan, sebaiknya jangan diperah dan ditunggu hingga tenang kembali. Namun tak seluruh sapi memiliki kepekaan yng percis terhadap gangguan.

Penyakit

Penyakit pada sapi perah memiliki pengaruh yng Amat merugikan lantaran menurunkan produksi susu dan komposisinya. Tingkat pengaruh penyakit terhadap penurunan produksi susu ditentukan oleh jenis dan ganasnya penyakit. Turunnya produksi susu pada biasanya penyebabnya yaitu lantaran nafsu makan menurun dan bisa memicu akibat yng Amat drastis, antara lain: 1. Milk fever Penyakit milk fever ataupun demam susu pula dikenal menjadi penyakit hypocalcaemia, yng adalah satu dari sekian banyaknya penyakit yng Amat ditakuti peternak sapi perah lantaran Suka memicu kematian pada sapi yng produksinya tinggi. Timbulnya milk fever penyebabnya yaitu kadar kalsium dalam darah sapi perah turun hingga di bawah normal. Kadar kalsium darah normal merupakan 12 mg/100 ml. Kalsium berperan penting dalam kontraksi otot dan system syaraf. Rendahnya kalsium darah memicu terganggunya kontraksi otot dan fungsi otak. Sapi yng produksi susunya tingi butuh kalsium dalam jumlah yng memadai. Hal ini dikarenakan setiap satu liter susu yng diperoleh memiliki kandungan 1,2-1,4 gram kalsium. Penyakit dini penyebabnya yaitu adanya gangguan metabolisme mineral pada sapi perah sebelum, tengah dan seusai beranak. Fenomena ini umumnya menimpa pada sapi perah yng produksi susunya tinggi (awal masa laktasi), yng beranak pada umur 5-10 tahun. Bagi sapi muda ataupun sapi yng produksi susunya rendah jarang dijumpai kasus ini.
Pada masa bunting sapiperah butuh kalsium dalam jumlah yng tinggi lantaran kalsium dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, dan pada masa awal laktasi kebutuhan kalsium meningkat. Hal ini lantaran hingga yang dengannya hari ke 6 seusai beranak sapi perah menghasilkan susu pertamanya yng disebut kolostrum. Kadar mineral salah satunya kalsium pada kolostrum lebih tinggi daripada susu normal. Minimnya suplai kalsium dari pakan pula bisa memungkinkan terjadinya milk fever.
Milk fever bisa berlangsung lantaran pakan yng diberikan pada sapi perah kekurangan kalsium akan memicu kalsium dalam jaringan tubuh dimobilisasi. Andaikan fenomena ini terus berlanjut, kalsium darah akhirnya akan termobilisasi pula yng akibatnya kadar kalsium daran bisa menurun hingga dibawah normal.
Milk fever bisa berlangsung juga lantaran gangguan pada kelenjar parathyreoidea yng menghasilkan hormon parathyreoid. Hormon ini berfungsi menjadi pengatur kadar kalsium darah. Terhambatnya sekresi hormon parathyreoid akan memicu kadar kalsium darah menurun. Gejala milk fever pada awal mulanya sapi kelihatan gelisah, temperatur tubuhnya menurun hingga dibawah normal, nafsu makannya hilang, kaki belakang menjadi lemah dan susah digerakkan, menjadikan kalau berjalan nampak sempoyongan. Sapi tak bisa menelan, air liur keluar secara berlebihan dari mulut (hypersalivasi) dan tak sanggup mengadakan ruminansi (memamah biak). Matanya semisal mengantuk, sapi berbaring terus-menerus yang dengannya posisi kepalanya diletakkan disamping tubuhnya dan tak memberikan reaksi terhadap rangsangan. Pada keadaan lebih lanjut sapi mengalami kejang otot, kelumpuhan dan kehilangan kesadaran, malah sapi bisan pingsan. Pengobatan yng diberikan bertujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menaikan kadar kalsium darah dan mengurangi jumlah kalsium yng keluar dari tubuh. Tips yng umumnya di tempuh merupakan melalui penyuntikan larutan kalsium glukonat 20% secara intravenus ataupun intrasubcutan sebanyk 250-500 ml. Seusai disuntik sapi tak boleh diperah sekurang-kurangnya 12 jam.
Disarankan kepada peternak sapi perah andaikan sapinya menunjukan gejala-gejala milk fever, secepatnya menghubungi dokter hewan terdekat. ncegahan penyakit milk fever bisa di lakukan melalui pemberian pakan yng memiliki kandungan kalsium dalam jumlah cukup sesuai yang dengannya kebutuhan sapi perah. Pemberian pakan yng mengadung kadar kalsium berlebihan tak direkomendasikan lantaran akan memberi pengaruh metabolisme mineral lain-lainnya. Pemberian hijauan, lebih-lebih leguminosa bisa dimanfaatkan menjadi sumber kalsium yng baik. Dianjurkan sapi yng produksinya tinggi, hijauan yng diberikan berupa leguminosa sebanyk 25-50% jumlah hijauan yng diberikan. Suplementasi kalsium, fosfor dan magnesium dalam pakan sapi perah sebelum beranak Suka di lakukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencegah terjadinya milk fever.
2. Mastitis Mastitis merupakan penyakit peradangan kelenjar susu dan penyebab biasanya merupakan bakteri yng masuk melalui saluran susu dan lantas menetap di ambing. Masuknya bakteri seringkali memicu terjadinya luka dan peradangan disekitar ujung puting. Penyakit mastitis langsung menurunkan produksi susu ataupun komposisi susu. Pencegahan adalah kunci dari perogram pengawasan mastitis. Penularan bakteri ke sapi yng sehat seringkali berlangsung melalui tangan pemerah yng tak bersih ataupun handuk bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencuci ambing. Sebelum memerah peternak Perlu mencuci tangannya yang dengannya sabun desinfektan. Sapi yng kena mastitis Perlu diperah paling akhir. Sesudah selesai pemerahan, puting Perlu dicuci yang dengannya memakai satu handuk dalam larutan sanitasi dan dikeringkan secara seksama. Selanjutnya puting dicelupkan kedalam larutan pencelup puting, yakni chlorhexidin (0,5%), iodine (0,5-1%) dan hypochloride (4%).
Prosedur yng sehat ini bisa mengurangi 50% ataupun lebih mungkin timbulnya infeksi baru yng penyebabnya yaitu oleh streptococci dan streptococci aureus. Tindakan pencegahan Perlu digabungkan yang dengannya pengobatan terhadap infeksi yng ada.
Dari suatu penyidikan diketahui bahwasanya penggabungan antara pencegahan dan pengobatan infeksi mengurangi timbulnya mastitis dari 40% menjadi 11%. Hal ini adalah penurunan yng menakjubkan dari timbulnya mastitis dan tentu saja memerlukan usaha-usaha bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencapainya.
3. Penyakit lain Penyakit lain yng secara tak langsung menurunkan jumlah produksi susu merupakan penyakit organ reproduksi. Penyakit pada organ reproduksi memicu kegagalan kebuntingan, akibatnya memperpanjang jarak kelahiran (calving interval)

Obat-obatan

Obat-obatan yng bisa menstimulir/menaikan produksi susu tidak sedikit jenisnya, namun masih dipertanyakan sejauh mana obat-obatan yang telah di sebutkan bisa dipakai secara praktis dan ekonomis dan pengaruh penggunaan jangka panjang. Satu dari sekian banyaknya obat yng dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk menaikan produksi susu merupakan thyroprotein ataupun iodinated-casein memiliki pengaruh semisal halnya pada thyroxine, mempertinggi sekresi hormon prolaktin.
Sapi perah yng tinggi produksi susunya, biasanya mempunyai kelenjar thyroidea yng Amat aktif menghasilkan thyroxine. Andai sapi yng produksinya turun dan diberi hormon thyroxine (obat thyranon per-os ataupun intra musculair) produksi susu bisa meningkat. Pemberian thyroprotein (obat campuran casein dan yodium), pula disebut "thyro-active lactation stimulant" bagi atau bisa juga dikatakan untuk sapi memiliki pengaruh semisal pemberian thyroxine. Sebaiknya pemberian thyroprotein di lakukan sekitar 40 hari seusai partus sewaktu produksi mulai turun sebanyk 15 gram tiap hari umumnya dalam waktu lebih tidak lebih 10 hari produksi telah bisa naik lagi. Kenaikan produksi bisa mencapai sekitar 5 hingga 20 % dan bisa berlangsung hingga tiga bulan. Pemberian hormon thyroxine ataupun thyroprotein memicu pernapasan menjadi terlalu cepat, lantaran itu di daerah yng panas dianjurkan jangan diberikan thyroxine ataupun thyroprotein pada sapi perah.


Sumber rujukan dan gambar : http://www.agrinak.com/2015/12/20-faktor-yang-mempengaruhi-produksi.html.

Seputar 20 Faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Kualitas Susu

Advertisement
 

Cari Artikel Selain 20 Faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Kualitas Susu