ANTARA ALI BIN ABI THALIB DAN ALI BIN MA'SHUM (TERONGGOSONGIZED)

- Desember 20, 2017

ANTARA ALI BIN ABI THALIB DAN ALI BIN MA'SHUM (TERONGGOSONGIZED)

 
Mbah Kyai Ali Ma’shum rahimahullah terlahir yang dengannya kecerdasan istimewa. Pada usia remaja, beliau telah menjadi amat ahli dalam bahasa serta sastra Arab. Kefashihan beliau susah dicari tandingannya. Pada usia 18 tahun, sewaktu mondok di Termas, Pacitan, dibawah asuhan Kyai Dimyathi rahimahullah, Kyai Ali diberi hak bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengajar di Masjid pondok. Suatu previles yng tak didapatkan malah oleh santri-santri yng jauh lebih senior. Bukan lantaran Kyai Ali putera seorang kyai besar (Mbah Kyai Ma’shum, Lasem).
Dari segi nasab, Kyai Ali masih “kalah bobot” dibanding, misalnya, Kyai Abdul Hamid (Pasuruan) yng pada waktu itu pula mondok bareng di Termas. Previles itu diberikan menjadi pengakuan atas ke’aliman Kyai Ali. Di lantas hari, Kyai Ali Ma’shum pun diakui menjadi kyai ahli Ilmu Tafsir paling otoritatif pada masanya.
Tak heran andai, seusai trio pendiri Nahdlatul Ulama (Hadlratusy Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Abdul Wahab Hasbullah serta Kyai Bisri Syansuri) “habis” yang dengannya wafatnya Kyai Bisri Syansuri, seluruh kyai yng hadir dalam Kombes NU 1981 di Kaliurang, Yogyakarta, secara aklamasi menyetujui usul Kyai Achmad Siddiq (Jember) bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendaulat Kyai Ali Ma’shum menjadi Rais ‘Aam menggantikan Kyai Bisri Syansuri. Semula Mbah Ali menolak. Namun seluruh kyai mendesak beliau bertubi-tubi. Dari pagi sampai-sampai malam Gus Mus menunggui di kediaman beliau di Krapyak, yang dengannya tekad tidak akan beringsut sebelum beliau menyatakan kesediaan. Yang dengannya berlinangan air mata, Mbah Ali akhirnya menyerah.
“Aku tak mau jabatan”, beliau mengatakan, “tapi agama melarangku menghindari tanggung jawab…”
Selanjutnya, Kyai Ali Ma’shum pun menjadi patron dari gairah pembaharuan NU. Beliau pelindung utama —kalau bukan satu-satunya— anak-anak muda yng getol yang dengannya pembaharuan, disaat gagasan-gagasan kreatif orang-orang memanaskan indera pendengaran kebanykan kyai lantaran dianggap terlampau berani.
Mungkin orang teringat, bagaimana Kyai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, suatu disaat terasa tidak kuat lagi menenggang “keliaran” Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU menjadikan hubungan diantara keduanya tegang luar biasa. Kyai As’ad memanggil Kyai Muhith Muzadi ke Situbondo.
“Tolonglah”, beliau berujar kepada Kyai Muhith, “sampiyan ingatkan Abdurrahman itu… dia sudah kelewatan”.
Kyai Muhith angkat tangan.
“Kok saya to, ‘Yai” jawabnya, “mestinya kan yang sepuh-sepuh seperti panjenengan yang lebih berhak…”
“Wah, saya ’dak biisa… yang bisa itu Kyai Ali Ma’sum!”
Pada peluang lain, Kyai As’ad berusaha mendatangkan kyai-kyai berkumpul di Surabaya. Mbah Kyai Ali Ma’shum berhalangan, cuma mengutus Abdurrahman, seorang santri Krapyak asal Pasuruan, membawa surat beliau bagi atau bisa juga dikatakan untuk para kyai yng hadir di Surabaya.
“Kalau rapat kyai-kyai itu sudah selesai, serahkan surat ini kepada Kyai As’ad dan sampaikan bahwa saya minta surat ini dibacakan didepan majlis”. Demikian pesan Mbah Ali.
Rapat itu rupanya membahas Gus Dur yang dengannya segala kembelingannya, menjadikan akhirnya kyai-kyai mufakat bagi atau bisa juga dikatakan untuk membuat petisi, menuntut Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU.
Abdurrahman Pasuruan patuh, begitu rapat hendak ditutup, ia beranikan diri menyerobot kehadapan Kyai As’ad bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyerahkan surat titipan Mbah Ali berikut pesan beliau. Surat yng lantas benar-benar dibaca didepan majlis itu diluar dugaan berisi pernyataan tegas bahwasanya Mbah Ali menolak pemberhentian Gus Dur dari jabatannya. Kyai As’ad tidak punya pilihan.
“Kalau Kyai Ali Ma’shum ’dak setuju… saya ’dak berani…”
Keputusan rapat pun batal.
Menjadi Rais ‘Aam, walaupun hanya separuh masa bakti (1982 – 1984), Mbah Kyai Ali Ma’shum sukses mengantarkan NU melewati masa transisi dari NU-politik ke NU-kultural. Perjalanan menuju deklarasi “Kembali ke Khittah NU 1926” pada Muktamar Situbondo (1984) berhutang sepenuhnya pada jasa kepemimpinan beliau. Itu memanglah bukan perjalanan yng gampang. Di tengah-tengahnya, konflik besar yng mengguncang antara kubu kyai-kyai serta kubu para politisi (Situbondo versus Cipete) Perlu dilalui yang dengannya segala pahit-getirnya. Hingga-sampai seorang kyai muda berani melontarkan keluhan berbau protes ke hadapan Mbah Ali.
“Selama kepemimpinan tiga Rais ‘Aam sebelumnya, NU adem-ayem, bersatu penuh harmoni”, kata kyai muda itu, “tapi setelah panjengan jadi Rais ‘Aam… kok terjadi perpecahan begini?”.
Mbah Ali tersenyum bijak.
“Bagus sekali kamu bertanya begitu”, ujar beliau, “pertanyaanmu itu persis yang dilontarkan orang kepada Sayyidina ‘Ali”.
Maka Mbah Ali pun meriwayatkan keluhan orang kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, bahwasanya pada masa kepemimpinan tiga Khulafa Ar Rasyidin sebelum beliau (Saadaatina Abu Bakar, Umar ibn Al Khatthab serta ‘Utsman ibn ‘Affan radliyallahu ‘anhum) tak berlangsung perpecahan ummat semisal pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali.
Bagaimana jawaban Sayyidina ‘Ali?
“Pada masa beliau bertiga itu, yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”
oleh Terong Gosong
Lihat pula wacana Tatacara melihat karakter orang dari ciri tangan, Tatacara Melihat sifat orang dari goresan pena tangan
sumber : http://toyinkgondrong.blogspot.com/2011/03/antara-ali-bin-abi-thalib-dan-ali-bin.html

Sumber rujukan dan gambar : http://www.nangimam.com/2012/03/antara-ali-bin-abi-thalib-dan-ali-bin.html.

Seputar ANTARA ALI BIN ABI THALIB DAN ALI BIN MA'SHUM (TERONGGOSONGIZED)

Advertisement
 

Cari Artikel Selain ANTARA ALI BIN ABI THALIB DAN ALI BIN MA'SHUM (TERONGGOSONGIZED)