Seri Jejak Perjuangan Sunan Ampel 7

- Januari 13, 2018

Seri Jejak Perjuangan Sunan Ampel 7

 
Kontroversi Sekitar Wali SongoMasalah rumit yng tidak sedikit berusaha mendatangkan kontroversi dari para penyebar Islam di Jawa abad ke-14 serta ke-15 merupakan menyangkut sebutan Wali Songo. Karena andai sebutan Wali Songo itu dikenakan pada sosok para penyebar Islam di Jawa pada abad 14 serta 15 Masehi, akan tak pas lantaran jumlahnya terlebih. Sementara yng lain berusaha menjustifikasi kebenaran asumsi jumlah wali yng sembilan itu yang dengannya menyatakan bahwasanya setiap anggota wali yng meninggal akan diganti oleh wali lain, menjadikan jumlah orang-orang andai diurutkan akan lebih sembilan orang. Masalah yng tidak kalah rumit, merupakan menyangkut asumsi bahwasanya para anggota wali songo itu merupakan auliya’ Allah yakni para kekasih Allah yng mempunyai karomah. Dikatakan Amat rumit, karena dalam keyakinan umat Islam keberadaan seorang auliya’ Allah ataupun kekasih Allah tak diketahui oleh kita-kita umum kecuali sesama auliya’.
Kesimpang-siuran serta kerumitan masalah sebutan Wali Songo itu, terbukti berasal dari kerancuan penulisan hitoriografi babad yng berjarak lebih dari duaratus tahun dari fenomena ditambah merosotnya pengetahuan Bahasa Kawi serta diperparah oleh kerangka berpikir otak-atik mathuk yng berkembang pesat pasca runtuhnya Majapahit. Menempatkan Syaikh Maulana Malik ibrahim bersama Sunan Gunung Jati, Sunan kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dalam masa yng sejaman di sebuah organisasi dakwah, terperinci mengada-ada. Karena pendapat dari inkripsi yng tertulis pada makam Syaikh Maulana malik ibrahim, tarikh wafatnya merupakan tahun 840 Hijriyah yng percis yang dengannya tahun 1419 Masehi, di mana tatkala itu Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta yng lain belum lahir.Pendapat dari Serat Walisana pupuh XXIX, disebutkan bahwasanya Walisana merupakan julukan bagi wali-wali yng berkuasa pada suatu daerah. Ungkapan Serat Walisana itu, mampu ditafsirkan merujuk pada kekuasaan politik serta pemerintahan di masa itu. Menjadikan wajar andai tokoh-tokoh Walisana yang telah di sebutkan mempunyai gelar sunan, susuhunan, sinuhun, ataupun prabhu, yng secara tradisional adalah gelar khusus bagi raja-raja. Yang dengannya demikian, keberadaan Wali Sanga bisa ditafsirkan menjadi suatu tatanan kekuasaan yng terkait yang dengannya system ikonografi dewasa itu, yaitu penggambaran dari sembilan kekuasaan Syiwa yng disebut nawadewata ataupun nawasanga. Maksudnya, Paramasyima menjadi tokoh utama yng dikelilingi oleh delapan mata angin (Soekmono, 1974: 285) yng meliputi: Wisynu (utara), Sambhu (timur laut), Isywara (tenggara), Brahma (selatan), Maheswara (barat daya), Mahadewa (barat), Sangkhara (barat laut), serta Paramasyiwa (pusat). Penggunaan system ikonografi nawasanga itu, setidaknya terlihat pada gelar Prabhu Satmata yng dipakai Sunan Giri, padahal Satmata merupakan nama lain dari Syiwa. Malah sebutan Ratu Giri yng disandang Sunan Giri, merujuk juga pada nama Syiwa yng masyhur yakni Girinatha (Raja gunung) tanpa mengesampingkan bahwasanya keraton kakeknya dari pihak ibu terdapat atau terletak di Giri Kedhaton, Blambangan (saat ini Kecamatan Giri di kota Banyuwangi – pen).Berdasar uraian di atas, jelaslah bahwasanya sebutan wali yng dipakai Wali Songo mengacu pada penguasa politis serta pemerintahan suatu daerah, yng lazim dikenal yang dengannya sebutan Wali Nagari. Akan tetapi kekurang-fahaman terhadap sebutan Wali Nagari, yng adalah gagasan asimilatif antara sebutan Bahasa Arab serta sebutan Bahasa Kawi itulah, yng ada dugaan memicu asumsi bagi atau bisa juga dikatakan untuk memaknai kata ‘wali’ dalam Wali Nagari itu yang dengannya makna auliya’ yakni kekasih Allah. Lantas berkembanglah kisah-kisah fantastis perihal kekeramatan wali-wali yng melampaui mukjizat nabi-nabi. Asumsi yng tak tepat itu pada gilirannya menempatkan keberadaan para raja muslim di abad 14 serta 15, cuma menjadi para ulama pengasuh pesantren serta bukannya penguasa suatu daerah. Malah yng belakangan berkembang di sinetron-sinetron, para anggota Wali Songo penyebar Islam itu digambarkan menjadi sekedar pendekar-pendekar muslim tukang berkelahi.Keberadaan Wali Songo, tampaknya tak terlepas dari usaha-usaha para penyebar Islam bagi atau bisa juga dikatakan untuk merubah tatanan sosial serta politik di era Majapahit yng menganut ajaran dewaraja supaya menjadi tatanan yng Islami. Sebagaimana sudah terurai di muka (dalam pemaparan awal buku ini –pen), bahwasanya seorang raja di dalam keyakinan masyarkat Jawa Kuno diyakini menjadi titisan dewa, menjadikan tatkala sang raja meninggal dunia akan dipuja menjadi dewa oleh keturunan serta masyarakatnya. Tidak berbeda yang dengannya raja, para kepala wisaya (daerah setingkat kecamatan) yng disebut buyut serta para kepala desa yng disebut rama, andai meninggal akan dipuja oleh keturunan serta masyaraktnya. Makam-makam kepala wisaya serta kepala desa itulah yng disebut kabuyutan serta punden karaman. Tatanan ini merupakan hasil asimilasi antara anasir pemujaan terhadap arwah leluhur dari ajaran Kapitayan yang dengannya anasir Hindu dari bhagavatisme yng dianut oleh para pemuja Wisynu.Di masa akhir Majapahit yng ditandai menguatnya pengaruh adipati-adipati muslim di pesisir utara jawa, terdapat perubahan-perubahan dalam menyebut para penguasa yng di dalamnya terperinci terdapat maksud pengislaman terhadap anasir-anasir kepercayaan dewaraja. Sebutan ratu, adipati, narapati, prabhu, serta susuhunan yng semula dianggap berkaitan yang dengannya titisan dewa, sudah direduksi menjadi sekedar sahabat-sahabat Allah (Wali Allah). Raja bukan lagi dianggap titisan serta penjelmaan tuhan, namun cuma sahabat-sahabat Tuhan (Allah). Jabatan kepala wisaya yng semula merupakan buyut, diganti menjadi Gede ataupun Ageng ataupun Umbul. Berbeda yang dengannya para buyut yng andai meninggal dipuja di kabuyutan, para Ki Gede serta Ki Ageng ataupun Umbul, andai meninggal tak dipuja. Begitu pula jabatan kepala desa yng disebut rama, diubah menjadi lurah yng andai meninggal tak lagi dipuja menjadi punden.Yang dengannya uraian ini, jelaslah bahwasanya sebutan Susuhunan taklah dimaksudkan menjadi gelar formal bagi para Wali Allah, lantaran sepanjang sejarah Islam belum pernah ada seorang Wali Allah mendapatkan gelar formal yng mampu dikenal warga atau juga bisa dikatakan masyarakat umum bagi atau bisa juga dikatakan untuk menunjukan kedudukannya menjadi kekasih Allah. Keberadaan seorang Wali Allah, malahan disembunyikan dari pengetahuan umum. Yang dengannya demikian, dalam konteks makna Wali Songo serta sebutan susuhunan itu, sebenarnya bisa dilihat jejak-jejak suatu taktik dakwah Islam bagi atau bisa juga dikatakan untuk merubah kepercayaan dewaraja menjadi tauhid Islam. Dalam pengertian bahwasanya para adipati ataupun raja itu bukanlah titisan Tuhan, namun sekedar sahabat-sahabat Tuhan. Itu tak berguna keberadaan Sunan Ampel menjadi Wali Allah dinafikan oleh pandang-an ini, karena kedudukan Wali Allah di dalam keyakinan Islam tak terbatas oleh kedudukan orang menjadi raja ataupun tak. Kewalian seseorang merupakan sesuatu yang di sembunyikan Ilahi.
Lihat pula perihal Tips melihat karakter orang dari ciri tangan, Tips Melihat sifat orang dari goresan pena tangan
Sumber goresan pena:Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M., Surabaya: Diantama, 2004.


Sumber rujukan dan gambar : http://www.nangimam.com/2012/02/seri-jejak-perjuangan-sunan-ampel-7.html.

Seputar Seri Jejak Perjuangan Sunan Ampel 7

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Seri Jejak Perjuangan Sunan Ampel 7